Baca Injil tapi Berkilah dengan Al-Qur’an
Baca Injil tapi Berkilah dengan Al-Qur’an
Oleh Hartono Ahmad Jaiz*
Di zaman sekarang ada permainan pat gulipat yang sudah semakin nglunjak (tidak pakai sopan santun lagi, sampai ke kepala). Pemainnya bukan orang sembarangan tapi juru bicara kelompok elit. Sedang yang dimain-mainkan adalah aqidah yang mestinya diyakini tapi ditarik-tarik ke aqidah agama lain. Masih pula kemudian dikilahi dengan ayat Al-Qur’an.
Mereka itu mengaku beragama Islam, bahkan komunitas da’wah. Lalu membaca ayat Injil tapi tidak mau kalau dibilang kristenisasi, karena memang tidak sedang jualan agama Kristen, namun jualan kelompoknya. Kira-kira saja orang Kristen agar simpati lalu masuk ke kelompoknya barangkali. Setelah membaca ayat Injil itu kemudian mendalilinya dengan dalil yang biasa diucapkan orang liberal (yang artinya dimain-mainkan dalam mendudukkan dalil itu) yakni ayat rahmatan lil ‘alamien, rahmat bagi seluruh alam.
Dulu ada ungkapan “bukan salah bunda mengandung”… tetapi kalau ditelusuri, seorang Ustadz yang membaca ayat Injil itu kemungkinan yang termasuk salah adalah almamater yang mengasuh dan mendidiknya yang memang berupa perguruan tinggi Islam di Indonesia yang telah direkayasa jadi pendidikan memesongkan Islam. Atau menjadikan Islam mencong ke liberal bahkan berkeyakinan pluralism agama yang bahasa Islamnya kemusyrikan baru. Sehingga jadi bangga ketika jadi ustadz lalu di tempat yang terhormat kemudian mengutip ayat Injil kemudian dikilahi dengan ayat Al-Qur’an itu merupakan penerapan dari pendidikan tinggi Islam di Indonesia yang telah berhasil memencongkannya ke arah yang nyerempet-nyerempet kemusyrikan baru itu. Campur aduklah sudah. Ditambah lagi memang komunitas yang dia duduki mempersilakan yang begitu. Tumbu oleh tutup, klop.
Kurang lebihnya, pendidikan tinggi Islam di Indonesia arahnya seperti itu. Mampu mengutip injil lalu dikilahi dengan ayat Al-Qur’an agar jadi tampak pas. Lalu dijual!
Bagaimana sebenarnya sikap Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal menjaga kemurnian aqidah dan sikapnya itu untuk diikuti oleh Ummatnya? Inilah di antaranya:
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menegakkan Tauhid
a. Dalil pertama, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu hari melihat di tangan Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu ada selembar dari Taurat, dan Umar mengagumi isinya,, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam marah dengan kemarahan yang keras. Dalam hadits diriwayatkan:
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكِتَابٍ أَصَابَهُ مِنْ بَعْضِ أَهْلِ الْكُتُبِ فَقَرَأَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَغَضِبَ فَقَالَ أَمُتَهَوِّكُونَ فِيهَا يَا ابْنَ الْخَطَّابِ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ جِئْتُكُمْ بِهَا بَيْضَاءَ نَقِيَّةً لَا تَسْأَلُوهُمْ عَنْ شَيْءٍ فَيُخْبِرُوكُمْ بِحَقٍّ فَتُكَذِّبُوا بِهِ أَوْ بِبَاطِلٍ فَتُصَدِّقُوا بِهِ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ مُوسَى صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ حَيًّا مَا وَسِعَهُ إِلَّا أَنْ يَتَّبِعَنِي
Dari Jabir bin Abdullah ‘Umar bin khatab menemui Nabi Shallallahu’alaihiwasallam dengan membawa tulisan yang dia dapatkan dari Ahli Kitab. Nabi Shallallahu’alaihiwasallam terus membacanya dan marah seraya bersabda: “Bukankah isinya hanya orang-orang yang bodoh Wahai Ibnu Khottob?. Demi dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, saya datang kepada kalian dengan membawa cahaya yang terang. Janganlah kalian bertanya kepada mereka tentang sesuatu! Bagaimana jika mereka mengabari kalian kebenaran lalu kalian mendustakannya atau mereka (menyampaikan) kebatilan lalu kalian membenarkannya?. Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya Musa ‘alaihissalam hidup maka tidak ada jalan lain selain dia mengikutiku.” (Sebagaimana diriwayatkan Imam Ahmad dalam Musnadnya 3/387 nomor 14623, dan Al-Baihaqi dalam Syu’bul Iman, dan Ad-Darimi 1/115-116 dengan lebih sempurna. Hadits ini menurut Abdur Rahman Abdul Khaliq berderajat Hasan, karena punya banyak jalan menurut Al-Lalkai dan Al-Harwi dan lainnya).
Dalam Hadits itu terdapat pengertian sebagai berikut:
Pertama: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam heran adanya orang yang mulai mencari petunjuk kepada selain Al-Quran dan As-Sunnah sedangkan beliau masih hidup. Termasuk tuntutan iman kepada Al-Quran dan As-Sunnah adalah meyakini bahwa petunjuk itu adanya hanyalah pada keduanya (Al-Quran dan As-Sunnah) itu.
Kedua: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah membawa agama yang suci murni, tidak dikaburkan oleh pembuat kekaburan berupa perubahan, penggantian, atau penyelewengan. Sedang para sahabat menerima agama Islam itu dengan wungkul (utuh) dan murni. Maka bagaimana mereka akan berpaling darinya dan mencari petunjuk kepada hal-hal yang menyerupai penyelewengan, penggantian, dan penambahan serta pengurangan.
Ketiga: bahwa Nabi Musa as sendiri yang dituruni Kitab Taurat seandainya dia masih hidup pasti dia wajib mengikuti Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan meninggalkan syari’at yang telah dia sampaikan kepada manusia.
Hadits ini adalah pokok mengenai penjelasan manhaj (pola) Al-Quran dan As-Sunnah. Tidak boleh seorangpun mencari petunjuk (untuk mengetahui bagaimana cara mendekatkan diri pada Allah dan memperbaiki diri) kepada ajaran yang tidak dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, hatta walaupun dulunya termasuk syari’at yang diturunkan atas salah satu nabi yang dahulu.
b. Dalil yang kedua bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar khathib yang berkhutbah di hadapan beliau, di antaranya ia berkata: “ Barangsiapa taat pada Allah dan RasulNya maka sungguh ia telah mendapat petunjuk, dan barangsiapa bermaksiat kepada keduanya (waman ya’shihimaa) maka sungguh dia telah sesat.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padanya:
{ بِئْسَ خَطِيبُ الْقَوْمِ أَنْتَ قُلْ : وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ غَوَى }
“Seburuk-buruk khathib kaum adalah kamu. Katakanlah: Barangsiapa bermaksiat pada Allah dan rasulNya maka sungguh dia telah sesat.” (HR Muslim 6/159-di Syarah An-Nawawi, dan Ahmad 4/256 dan 379).
Khatib ini telah memotong lafal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu beliau mencelanya di depan orang banyak, karena khatib itu mengumpulkan antara Allah dan RasulNya dalam satu kataganti “waman ya’shihimaa” maka Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruhnya untuk mengulangi penyebutan nama yang jelas bagi Allah dan bagi RasulNya, sehingga tidak akan dikira walau dari jauh bahwa kedudukan Rasul seperti kedudukan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Semangat Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam ini adalah dalil atas wajibnya menjaga ketauhidan Allah Ta’ala dengan penjagaan yang sempurna, dan kewajiban membedakan dengan sempurna antara hal yang wajib untuk Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan yang wajib untuk RasulNya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
c. Dalil ketiga
عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ أَخْبَرَنِي خَارِجَةُ بْنُ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ أَنَّ أُمَّ الْعَلَاءِ امْرَأَةً مِنْ الْأَنْصَارِ بَايَعَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبَرَتْهُ أَنَّهُ اقْتُسِمَ الْمُهَاجِرُونَ قُرْعَةً فَطَارَ لَنَا عُثْمَانُ بْنُ مَظْعُونٍ فَأَنْزَلْنَاهُ فِي أَبْيَاتِنَا فَوَجِعَ وَجَعَهُ الَّذِي تُوُفِّيَ فِيهِ فَلَمَّا تُوُفِّيَ وَغُسِّلَ وَكُفِّنَ فِي أَثْوَابِهِ دَخَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ رَحْمَةُ اللَّهِ عَلَيْكَ أَبَا السَّائِبِ فَشَهَادَتِي عَلَيْكَ لَقَدْ أَكْرَمَكَ اللَّهُ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَا يُدْرِيكِ أَنَّ اللَّهَ قَدْ أَكْرَمَهُ فَقُلْتُ بِأَبِي أَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَمَنْ يُكْرِمُهُ اللَّهُ فَقَالَ أَمَّا هُوَ فَقَدْ جَاءَهُ الْيَقِينُ وَاللَّهِ إِنِّي لَأَرْجُو لَهُ الْخَيْرَ وَاللَّهِ مَا أَدْرِي وَأَنَا رَسُولُ اللَّهِ مَا يُفْعَلُ بِي قَالَتْ فَوَاللَّهِ لَا أُزَكِّي أَحَدًا بَعْدَهُ أَبَدًا حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ عُفَيْرٍ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ مِثْلَهُ وَقَالَ نَافِعُ بْنُ يَزِيدَ عَنْ عُقَيْلٍ مَا يُفْعَلُ بِهِ وَتَابَعَهُ شُعَيْبٌ وَعَمْرُو بْنُ دِينَارٍ وَمَعْمَرٌ
Dari Ibnu Syihab, ia berkata, telah mengabarkan kepada saya Kharijah bin Zaid bin Tsabit bahwa Ummu Al ‘Ala’ seorang wanita Kaum Anshar yang pernah berbai’at kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkannya bahwa; Ketika Beliau sedang mengundi pembagian sahabat Muhajirin (untuk tinggal di rumah-rumah sahabat Anshar sesampainya mereka di Madinah), maka ‘Utsman bin Mazh’un mendapatkan bagiannya untuk tinggal bersama kami. Akhirnya dia kami bawa ke rumah-rumah kami. Namun kemudian dia menderita sakit yang membawa kepada kematianya. Setelah dia wafat, maka dia dimandikan dan dikafani dengan baju yang dikenakannya. Tak lama kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang lalu aku berkata, kepada Beliau: “Semoga rahmat Allah tercurah atasmu wahai Abu As-Sa’ib (‘Utsman bin Mazh’un). Dan persaksianku atasmu bahwa Allah telah memuliakanmu”. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Dari mana kamu tahu bahwa Allah telah memuliakannya?” Aku jawab: “Demi bapakku, wahai Rasulullah, siapakah seharusnya orang yang dimuliakan Allah itu?” Beliau menjawab: “Adapun dia, telah datang kepadanya Al Yaqin (kematian) dan aku berharap dia berada diatas kebaikan. Demi Allah meskipun aku ini Rasulullah, aku tidak tahu apa yang akan dilakukan-Nya terhadapku”. Dia (Ummu Al ‘Ala’) berkata: “Demi Allah, tidak seorangpun yang aku anggap suci setelah peristiwa itu selamanya”. Telah menceritakan kepada kami Sa’id bin ‘Uqair telah menceritakan kepada kami Al Laits seperti ini. Dan berkata, Nafi’ bin Yazid dari ‘Uqail: “Apa yang akan dilakukan-Nya terhadapnya”. Dan dikuatkan oleh Syu’aib dan ‘Amru bin Dinar dan Ma’mar. (HR Al-Bukhari – 1166).
Dalam hadits itu bahwa Utsman bin Madh`un ra, seorang sahabat pilihan, ketika wafat, sedang Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam hadir di sisinya dan mendengar seorang sahabat besar perempuan, Ummu Al-`Ala`, berkata: “Kesaksianku atasmu Abu As-Saib, bahwa Allah sungguh telah memuliakanmu.” Maka Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam membantah dengan berkata:
وَمَا يُدْرِيكِ أَنَّ اللَّهَ قَدْ أَكْرَمَهُ ؟
“Tahu apa kamu bahwa Allah sungguh telah memuliakannya?”
Ini adalah peringatan yang besar dari Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada sahabat wanita ini karena dia telah menetapkan hukum dengan hukum yang menyangkut kegaiban. Ini tidak boleh, karena tidak ada yang menjangkau hal gaib kecuali Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Tetapi Shahabiyah (sahabat wanita) ini membalas dengan berkata: “Subhanallah ya Rasulallah!! Siapakah yang akan Allah muliakan kalau Dia tidak memuliakannya?” Artinya, jika Utsman bin Madh`un ra tidak termasuk orang yang dimuliakan Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka siapa lagi yang masih tersisa pada kita yang akan dimuliakan Allah SUBHANAHU WA TA’ALA. Ini jawaban yang sangat mengena dan signifikan/ cukup bermakna. Tetapi Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam menolaknya dengan ucapan yang lebih mengena dari itu, di mana beliau bersabda:
وَاللَّهِ مَا أَدْرِي وَأَنَا رَسُولُ اللَّهِ مَا يُفْعَلُ بِي
“Demi Allah meskipun aku ini Rasulullah, aku tidak tahu apa yang akan dilakukan-Nya terhadapku.”
Ini adalah puncak perkara. Rasul sendiri yang dia itu orang yang dirahmati dan disalami oleh Allah , beliau wajib berhati-hati dan mengharap rahmat Allah. Dan disinilah Ummu Al`Ala` sampai pada hakekat syara’ yang besar, maka dia berkata: “Demi Allah, setelah ini saya tidak akan menganggap suci terhadap seorangpun salama-lamanya.” (Diriwayatkan Al-Bukhari 3/385, 6/223 dan 224, 8/266 dalam Fathul Bari, dan Ahmad 6/436 dari Ummi Al`Ala` Al-Anshariyah binahwihi).
Pokok yang ini ditetapkan dalam syari’at pada ayat-ayat dan hadits-hadits yang banyak. Di antaranya firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يُزَكُّونَ أَنْفُسَهُمْ بَلِ اللَّهُ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ وَلَا يُظْلَمُونَ فَتِيلًا (49) انْظُرْ كَيْفَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ وَكَفَى بِهِ إِثْمًا مُبِينًا [النساء/49، 50]
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang menganggap dirinya bersih. Sebenarnya Allah membersihkan siapa yang dikehendakiNya dan mereka tidak dianiaya sedikitpun.
Perhatikanlah, betapakah mereka mengada-adakan dusta terhadap Allah? Dan cukuplah perbuatan itu menjadi dosa yang nyata (bagi mereka).” (terjemah QS An-Nisaa`/ 4:49-50).
لَيْسَ بِأَمَانِيِّكُمْ وَلَا أَمَانِيِّ أَهْلِ الْكِتَابِ مَنْ يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ بِهِ وَلَا يَجِدْ لَهُ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا [النساء/123]
“(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab. Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan dia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah.” Terjemah QS (An-Nisaa’/ 123).
d. Dalil keempat
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا شَاءَ اللَّهُ وَشِئْتَ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجَعَلْتَنِي وَاللَّهَ عَدْلًا بَلْ مَا شَاءَ اللَّهُ وَحْدَهُ
Dari Ibnu Abbas bahwa seorang laki-laki berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam; “masyaa`allahu wa syi`ta (Apa yang Allah kehendaki dan apa yang anda kehendaki.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada orang tersebut: “Apakah engkau hendak menyamakan diriku dengan Allah! cukup kau ucapkan; ‘Sesuai kehendak Allah sendiri” (HR Ahmad – 1742, 1/214,224,283,347, Al-Bukhari dalam Adabul Mufrad 783 dan selain keduanya.)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjadikan kehendak itu bagi Allah sendiri, sehingga mengajarkannya kepada mukminin bahwa tiada kemauan seorangpun yang bersama kemauan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
e. Dalil kelima,
عَنْ أَبِي وَاقِدٍ اللَّيْثِيِّ قَالَ خَرَجَنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قِبَلَ حُنَيْنٍ فَمَرَرْنَا بِسِدْرَةٍ فَقُلْتُ يَا نَبِيَّ اللَّهِ اجْعَلْ لَنَا هَذِهِ ذَاتَ أَنْوَاطٍ كَمَا لِلْكُفَّارِ ذَاتُ أَنْوَاطٍ وَكَانَ الْكُفَّارُ يَنُوطُونَ بِسِلَاحِهِمْ بِسِدْرَةٍ وَيَعْكُفُونَ حَوْلَهَا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اللَّهُ أَكْبَرُ هَذَا كَمَا قَالَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ لِمُوسَى { اجْعَلْ لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةً } إِنَّكُمْ تَرْكَبُونَ سُنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ
(AHMAD – 20895) : Telah bercerita kepada kami ‘Abdur Razzaq telah mengabarkan kepada kami Ma’mar dari Az Zuhri dari Sinan bin Abu Sinan Ad Dili dari Abu Waqid Al Laitsi, ia berkata: Kami pergi bersama Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam ke arah Hunain, lalu kami melintasi sebuah pohon bidara lalu saya berkata: ‘Wahai Nabi Allah! buatkan kami Dzat Al Anwath seperti orang-orang kafir juga punya Dzat Al Anwath. Orang-orang kafir biasa menggantungkan senjata mereka dipohon bidara dan beri’tikaf disekitarnya. Kemudian Nabi Shallallahu’alaihiwasallam bersabda: “Allahu Akbar! Ini seperti yang dikatakan Bani Isra`il kepada Musa: Buatkan kami Tuhan seperti tuhan-tuhan milik mereka. sesungguhnya kalian melakukan perilaku-perilaku orang-orang sebelum kalian.”
Ada sebagian sahabat radhiyallahu ‘anhum lewat di tengah perjalanan mereka keluar ke Hawazin setelah Fathu Makkah ada satu pohon yang orang-orang musyrikin mengalungkan pedang-pedangnya di atas nya, dengan mempercayai bahwa orang yang mengerjakan itu akan mendapatkan kemenangan dalam pertempuran dengan musuh. Lalu para sahabat berkata: Ya Rasulullah, buatkan untuk kami gantungan seperti gantungan milik mereka itu, artinya pohon yang mereka gantungi senjata mereka. Lalu Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab mereka:
قُلْتُمْ وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ كَمَا قَالَ قَوْمُ مُوسَى (اجْعَلْ لَنَا إِلَهاً كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ…
“Demi Allah Yang diriku ada di tanganNya, Kamu sekalian telah berkata seperti Bani Israil berkata kepada Musa: “Buatkanlah tuhan untuk kami sebagaimana (mereka telah membuat) tuhan-tuhan untuk mereka.” (HR Ahmad dalam Musnadnya 5/218) dan At-Tirmidzi dalam Sunannya 6/407 dan 408-Tuhfatul Ahwadzi, dan ia atakana Hadits hasan shahih.)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa itu termasuk perbuatan orang-orang musyrikin, dan menyerupai mereka dalam hal ini adalah syirik kepada Allah Ta’ala (juga). Karena telah meminta berkah dan pertolongan kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah menyekutukanNya.
Dalil-dalil tersebut di atas itu semua sungguh merupakan kejelasan bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam sama sekali tidak membolehkan pengotoran pokok yang paling pokok dalam Islam, yaitu tauhidullah (mengesakan Allah) Subhanahu wa Ta’ala dan mengatakan atas nama Allah tanpa ilmu, dan mencari petunjuk (hidayah) kepada selainNya Subhanahu wa Ta’ala, dan RasulNya shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Lihat Al-Fikrus Shuufi, oleh Abdur Rahman Abdul Khaliq).
Ketatnya Tauhid telah dijaga oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sepereti itu. Namun sebaliknya, Longgarnya Penafsiran Liberal seperti berikut ini:
Tafsir Islam Liberal: Semua Orang Itu Adalah Pendeta Bagi Dirinya Sendiri
Orang-orang Islam Liberal tampaknya sangat tidak memelihara ketatnya aqidah tauhid seperti tersebut di atas. Bahkan cenderung menafikannya. Sihingga mereka tampak seenaknya dalam memandang agama sesuai seleranya, dan juga membebaskan serta membolehkan siapa saja untuk menafsirkan agama. Hal itu bisa dibuktikan dengan uraian berikut ini.
Nurcholis Madjid ditanya Sabili: “Aktivis JIL (Jaringan Islam Liberal) sangat liberal sehingga setiap orang Islam berhak melakukan penafsiran. Menurut Anda?”
Jawab Nurcholis Madjid: “Menurut saya, itu betul. Kita tidak boleh membatasinya kepada orang-orang tertentu, karena agama kita adalah agama yang tidak mengakui pendeta. Semua orang itu, adalah pendeta bagi dirinya sendiri. Cuma masalahnya itu, adalah bagaimana agar orang itu tidak ngawur. Karena itu, beberapa persyaratan yang wajar harus dipenuhi, misalnya tahu bahasa Arab, sejarah, tahu konteks dari suatu firman dan lain-lain.” (Sabili, 25 Januari 2002, hal 90).
Ungkapan Nurchlish Madjid itu merancukan istilah. Dia katakan, “…agama kita adalah agama yang tidak mengakui pendeta. Semua orang itu, adalah pendeta bagi dirinya sendiri.”
Memang, dalam Islam tidak ada kependetaan (laa rahbaaniyyata fil Islaam, tidak ada kependetaan dalam Islam) itu sudah jelas. Yaitu tidak ada cara hidup kependetaan berupa memencilkan diri di biara-biara dan tidak menikah, yang tujuannya untuk beribadah model mereka. Kaitan istilah tidak ada kependetaan dalam Islam itu adalah tasyaddud/ ghuluw atau ekstrim dalam beribadah. Karena Islam menolak sikap ghuluw (ekstrem).
Al-Qur’an pun mengungkapkan, kependetaan dalam Nasrani sebenarnya hanya reka-rekaan mereka.
وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ
“Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah (sistem kependetaan) padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya)…” (QS Al-Hadiid/ 57: 27).
Yang dimaksud dengan Rahbaniyyah ialah tidak beristeri atau tidak bersuami dan mengurung diri dalam biara. (lihat Al-Qur’an dan Terjemahnya, Depag RI, hal 905).
Di ayat lain, tentang pendeta adalah kaitannya dengan sikap pengkultusan umat terhadapnya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjelaskan sikap pengkultusan orang-orang Yahudi dan Nasrani terhadap ahbar (orang-orang alim), ruhban (pendeta-pendeta), dan Nabi Isa sebagai berikut:
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ [التوبة/31]
Artinya:”Mereka menjadika orang-orang alimnya, dan rahib-rahib (pendeta-pendeta) mereka sebagai Tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al-Masih putra Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; Tidak ada Tuhan selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan”. (At-Taubah:31).
Imam Ahmad, At-Tirmidzi dan Ibnu Jarir meriwayatkan dari Adi bin Hatim Ath-Thai, “Bahwa ia (Adi bin Hatim) mengahadap Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan di lehernya ada salib, sementara Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam membacakan ayat tersebut. Ia (Adi bin Hatim) berkata: Maka aku interupsi, mereka tidak pernah menyembah (para pendeta). Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda: “Ya (mereka menyembah para pendeta). Jika (para pendeta) mengharamkan kepada mereka sesuatu yang halal dan menghalalkan sesuatu yang haram, mereka mengikuti (para pendeta itu) maka itulah cara mereka menyembah pendeta mereka”. (Ibnu Katsir, Maktabah Dar al-Salam, 1994, 2/459).
Demikianlah keterangan dalam Al-qur’an dan al-Hadits mengenai kependetaan dan pendeta. Dengan demikian, perkataan Nurcholish Madjid, “Semua orang itu, adalah pendeta bagi dirinya sendiri” itu adalah perkataan yang rancu sama sekali, dan tidak merujuk kepada istilah dalam Islam. Apalagi sebelumnya dia katakan, “…agama kita adalah agama yang tidak mengakui pendeta.,” Seharusnya. ia beralasan dengan ayat ataupun hadits. Tetapi alasannya malah seperti tersebut. Berarti setiap Muslim dia anggap sebagai pendeta. Ini secara susunan kalimat saja sudah tidak keruan. Kalimat Nurcholish itu sama amburadulnya dengan orang yang misalnya mengatakan: “Islam tidak mengakui (bolehnya jadi) penyantet. Karena semua orang itu adalah penyantet bagi dirinya sendiri.”
Kalimat itu dari segi susunannya maupun kandungannya jelas sangat amburadul. Maka betapa keblingernya bila setiap orang merasa berhak menafsirkan Al-Qur’an hanya gara-gara ungkapan Nurcholish yang rancu itu. Rusaklah semuanya. Apalagi kalimat rancu itu justru untuk mendukung sikap aktivis JIL yang dalam pertanyaan itu dikatakan, setiap orang Islam berhak melakukan penafsiran.
Pertanyaan yang mudah: saudara-saudaraku, pantaskah kita mengaku sebagi pengikut setia Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bahkan mengaku cinta kepada beliau, namun justru kita lari dari sikap yang nabi contohkan dan bahkan mengikuti dedengkot liberal yang tidak dapat dipertanggung jawabkan secara ilmu maupun apalagi secara agama?
Kembalilah ke jalan yang benar, wahai saudara-saudaraku, sebelum ajal tiba!
*Hartono Ahmad Jaiz, penulis buku Lingkar Pembodohan dan Penyesatan Ummat Islam, Pustaka Nahi Munkar, 2011.
Sebagai bahan tabayun untuk kita semua, semoga Allah mengampuni kita dan selalu membimbing kita dalam kebaikan :
Pandangan Mini Fraksi PKS
Tentang Rancangan Undang-Undang (RUU) Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Disampakan oleh :
H. M. Nasir Djamil, S.Ag
No. Anggota A 44
Bismillahirrahmanirrahim
Yang kami hormati,
Pimpinan dan Anggota Komisi III DPR RI
Menteri Hukum dan HAM RI
Assalamualaikum, wr.wb.
Salam Sejahtera buat Kita semua
Assalamualaikum, wr.wb.
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan nikmat-Nya kepada kita, sehingga sampai saat ini kita masih dapat hadir dan melaksanakan tugas-tugas kenegaraan. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah Saw, insan yang telah mengajarkan kepada kita tentang hakikat keadilan yang harus ditegakkan demi membangun masyarakat yang sejahtera.
Saudara Anggota Komisi III DPR RI,
Menteri Hukum dan HAM RI yang Kami Hormati,
Kami memberikan apresiasi kepada Pemerintah yang mengajukan RUU tentang Sistem Peradilan Anak untuk menggantikan Undang-Undang No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang kami nilai sudah tidak relevan lagi, baik dari aspek yuridis, filosofis dan sosiologis. Undang-Undang ini tidak memberikan solusi yang tepat bagi penanganan anak -dalam bahasa UU No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak- sebagai anak yang berhadapan dengan hukum.
Proses penanganan anak dengan kategori tersebut -dari tingkat penyelidikan hingga sampai dengan penempatan di Lembaga Pemasyarakatan Anak-dapat menimbulkan permasalahan karena mereka harus ditangani secara hukum. Padahal, kenyataannya, tidak jarang penanganan terhadap mereka tersebut tidak dipisahkan dengan orang dewasa, seperti pemenjaraan yang disatukan dengan orang dewasa. Berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Setiap tahun ada sekitar 6.000 anak yang berhadapan dengan hukum dan 3.800 anak diantaranya berakhir di lembaga pemasyarakatan (Lapas) anak. Sisanya ada di Lapas orang dewasa, di tahanan polisi, dan tempat-tempat lain yang tidak layak untuk anak. Kasus Raju beberapa waktu lalu mengkonfirmasi adanya permasalahan ini.
Saudara Anggota Komisi III DPR RI,
Menteri Hukum dan HAM RI yang Kami Hormati,
Sahabat Nabi Muhammad SAW, Umar ra pernah berucap: Barangsiapa ingin menggenggam nasib suatu bangsa, maka genggamlah para pemudanya. Kata bijak ini menegaskan bahwa pemuda adalah elemen penting dalam menentukan masa depan bangsa. Anak adalah cikal bakal Pemuda. Olehkarena itu, penanganan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum janganlah sampai memunculkan stigmatisasi atau labelling dan kurangnya atau bahkan ketiadaan pembinaan terhadap mereka sehingga membuyarkan harapan mereka menjadi pemuda yang dapat berguna bagi bangsanya. Mengacu hal tersebut penting untuk menyepakati model penanganan anak yang berhadapan dengan hukum.
Saudara Anggota Komisi III DPR RI,
Menteri Hukum dan HAM RI yang Kami Hormati,
Anak haruslah berbeda dengan dewasa. Untuk itu, secara paradigma Model penanganan yang berlaku hingga saat ini, adalah sama sebagaimana penanganan orang dewasa, yaitu model retributive justice yaitu penghukuman sebagai pilihan utama atau pembalasan atas tindak pidana yang telah dilakukan. Model ini tidak sesuai, setidaknya dengan tiga alasan: pertama, alasan karakteristik anak. UU No 23 Tahun 2002 menyebutkan : ..”untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia,..” jadi anak merupakan individu yang masih harus tumbuh dan berkembang dalam segala aspek, sehingga anak belum dapat menentukan pilihan perbuatan secara benar. Sejalan dengan hal ini, Nabi Muhamad SAW pernah bersabda:“Dihapuskan ketentuan hukum dari tiga orang, dari orang yang tidur sampai ia bangun, dan dari orang gila sampai ia sembuh, serta dari anak kecil sampai ia dewasa”. Selain itu, dalam pandangan kristen, perlakuan terhadap anak-anak menjadi cerminan kesetiaan umat kristiani terhadap Tuhan, sebagaimana terdapat dalam Dalam Matius (18:5).
Kedua, alasan masa depan anak. Sebagaimana yang kami sampaikan sebelumnya, anak yang dipidana terlabel dan terstigmatisasi selepas pemidanaan sehingga menyulitkan pertumbuhan psikis dan sosial anak ke depan.
Ketiga, memulihkan hubungan antara anak yang berhadapan dengan hukum, korban dan masyarakat.
Saudara Anggota Komisi III DPR RI,
Menteri Hukum dan HAM RI yang Kami Hormati,
Kami berpandangan bahwa pemidanaan seharusnya merupakan pilihan terakhir bagi anak yang berhadapan dengan hukum, sehingga pendekataan pemidanaan, RUU Sistem Peradilan Anak haruslah berbeda dengan UU Pengadilan anak saat ini yang mengedepankan model pemidanaan retributive justice. UU yang akan datang harus mengedepankan model restorative justice, yaitu pemidanaan sebagai jalan akhir, sehingga perlu didahulukan cara lain diluar pengadilan. Kami berbahagia, ternyata model ini dikenal dalam RUU yang akan kita bahas nanti. Model ini bukan hanya dibutuhkan bagi anak yang berhadapan dengan hukum, tetapi juga dapat memulihkan hubungan antara anak dan korban dan masyarakat secara umum.
RUU ini mengatur hal-hal yang penting yang menegaskan penggunaan model restorative justice, diantaranya ketentuan tentang diversi, yaitu pengalihan penyelesaian perkara Anak dari porses peradilan anak ke proses di luar peradilan pidana, yang pengaturannya diatur dalam satu Bab tersendiri.
Saudara Anggota Komisi III DPR RI,
Menteri Hukum dan HAM RI yang Kami Hormati,
Beberapa hal penting dibahas dan dikaji lebih jauh nanti dalam pembahasan di Panja adalah mengenai diversi: Apakah semua jenis tindak pidana yang dilakukan anak harus diupayakan diversi? Atau apabila tidak, harus ditentukan berapa batas ancaman tindak pidana yang dikenakan diversi itu ? apakah diversi dapat dilakukan pada setiap tahap sistem peradilan pidana: atau cukup ditahap awal—penyidikan? Siapakah pihak-pihak yang trelibat dalam diversi? Bagaimana pengawasan terhadap penegak hukum yang berwenang melakukan diversi? Kejelasan pengaturan terhadap hal-hal tersebut sangat penting, mengingat diversi seperti pisau bermata dua: satu sisi, sebagai solusi bagi anak yang berhadapan dengan hukum, namun sisi lain memunculkan potensi pelanggaran hukum bagi aparat penegak hukum karena, diversi berarti diskresi yang lebih besar. Sehingga, Perlu pengawasan yang ketat terhadap aparat penegak hukum yang menangani anak yang berhadapan dengan hukum ini agar jangan sampai terjadi penyalahgunaan kewenangan.
Saudara Anggota Komisi III DPR RI,
Menteri Hukum dan HAM RI yang Kami Hormati,
Selain tentang restorative justice dan diversi tersebut, Hal lain yang penting adalah penentuan usia anak yang dapat dipidana. Putusan Mahkamah Konstitusi beberapa waktu lalu yang menegaskan bahwa Pemidanaan hanya dapat diberikan kepada anak yang telah mencapai Usia sekurang-kurangnya 12 tahun menjadi penegas bahwa UU Tentang Pengadilan Anak yang saat ini berlaku harus direvisi.
Disamping ketentuan umur minimal anak dapat dipidana. perlunya penegasan karakteristik dan syarat-syarat khusus bagi aparat yang menangani: mulai dari penyelidik sampai dengan petugas kemasyarakatan. Sehingga, kalaupun akhirnya pemidanaan menjadi pilihan terakhir, proses pemidanaan tersebut harus dapat mengurangi labeling atau stigmatisasi bagi anak. Adapun terhadap anak yang diserahkan penanganannya di luar Pengadilan, perlu kejelasan tugas dan kewenangan lembaga-lembaga yang menangani.
Sehingga terdapat kerjasama yang solid antara lembaga tersebut baik Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Kementrian Hukum dan HAM, Kementrian Sosial dan Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Saudara Anggota Komisi III DPR RI,
Menteri Hukum dan HAM RI yang Kami Hormati,
Demikian keseluruhan pandangan mini F-PKS tentang RUU Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Semoga RUU ini dapat segera dibahas dan disyahkan agar anak-anak Indonesia, terutama mereka yang berhadapan dengan hukum dapat tetap menatap masa depannya dengan tegak.
BillahittaufiqWalhidayah,
Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh.
Jakarta, 23 Rabi’ul Akhir 1432 H bertepatan dengan tanggal 28 maret 2011
PIMPINAN
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
Mustafa Kamal, S.S.
No. Anggota : A-53
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Ustadz, afwan ana mohon ijin untuk share artikel ini. Jazakallah khairan.