Bila Agama Ditundukkan Manusia
- Undang-undang Zakat mengarah pada pemidanaan orang alim atau sukarelawan yang ingin menolong Muslimin menyalurkan zakat namun bukan dari petugas lembaga resmi.
Ilustrasi Gambar : pelitaonline.com
Dalam Islam, manusia seshalih apapun tetap tidak boleh menundukkan agama. Justru manusia itu wajib tunduk pada agama. Telah Allah tegaskan:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ [الذاريات/56]
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (QS Adzdzariyat/51: 56).
Untuk mengabdi kepada Allah Ta’ala dengan benar itu hanya dengan tunduk dan taat kepada utusan Allah Ta’a.
Nah, kalau justru kemudian manusia bersikap menundukkan agama, tentu saja terbalik.
Bagaimana pula kalau itu berupa undang-undang bikinan manusia?
Bagaimana pula kalau yang membikin itu justru “komplotan” yang sudah jelas-jelas membikin 118 undang-undang yang tidak memihak kepada kemaslahatan manusia pada umumnya, bahkan menurut sebuah analisa ada indikasi tunduk pada pesanan asing? (lihat artikel Pantesan, Negerinya Subur Makmur, Rakyatnya Menderita, Lha Wong Maling-malingnya (kongkalikong trio macan korupsi: politikus, pengusaha, dan birokrat)Ramai-ramai Korupsi Masih Pula Mengundang Rampok dari Luar demi Komisi. https://www.nahimunkar.org/pantesan-negerinya-subur-makmur-rakyatnya-menderita/).
Berikut ini berita tentang UU Zakat yang baru saja disahkan:
***
UU Zakat Sulitkan Umat Membayar Zakat
JAKARTA — Undang-Undang Zakat yang baru saja diparipurnakan DPR, Kamis (27/10), dinilai akan menyulitkan umat Islam untuk melaksanakan rukun Islam yang keempat. UU ini mewajibkan pembayaran zakat harus kepada amil dari lembaga amil zakat yang terdaftar.
Pasal 38 undang-undang tersebut menyebutkan setiap orang dilarang dengan sengaja bertindak selaku amil zakat, yaitu mengumpulkan, mendistribusikan, atau mendayagunakan zakat, tanpa izin pejabat yang berwenang. Pejabat tersebut berasal dari Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), dan lembaga amil zakat milik Ormas, serta lembaga amil zakat yang berafiliasi kepada Baznas. Jika mengabaikan hal itu, maka yang bersangkutan terancam denda Rp 50 juta atau kurungan penjara selama satu tahun, sebagaimana diatur dalam pasal 41.
Ketua Umum Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Syuhada Bahri, menyatakan keberadaan amil zakat memang diatur dalam Islam. Umat Islam yang ingin membayar zakat bisa menyalurkannya kepada amil, namun tidak disebutkan apakah amil tersebut harus orang pemerintahan atau tidak. “Yang jelas harus bisa dipercaya. Dia harus menjaga amanah,” jelasnya, saat dihubungi, Kamis (27/10).
Syuhada menjelaskan seorang muslim berhak untuk menyalurkan langsung zakatnya kepada masyarakat miskin yang ada di sekitar tempat tinggalnya. “Tanpa harus melalui amil pun boleh,” paparnya. Dia mengatakan masyarakat tidak perlu bergantung kepada amil zakat jika memang mampu menyalurkan zakatnya secara mandiri.
Dia juga mengatakan masyarakat yang mampu menyalurkan zakatnya secara mandiri adalah orang yang mengetahui ukuran nisab zakat. Untuk zakat mal, ukurannya adalah 2,5 persen dari total hartanya. Kemudian zakat fitrah adalah 3,5 liter beras. “Silahkan saja Umat Islam menyalurkan langsung zakatnya,” papar Syuhada.
Namun demikian, dia menyatakan penyaluran harus dilakukan dengan benar. Jangan sampai mustahiq atau penerima zakat yang sudah mendapatkan jatah diberikan zakat lagi. Sementara masih ada masyarakat lain yang juga mustahiq namun belum menerima zakat.
Anggota Fraksi PKS, Mardani, menyatakan UU Zakat seharusnyya lebih menghargai kemandirian lembaga amil zakat yang tersebar di Indonesia. Lembaga tersebut, menurutnya, tidak perlu harus menjadi ormas atau berafiliasi kepada badan zakat tertentu.
“Mereka sudah sejak lama beroperasi menyalurkan zakat dengan baik,” paparnya. Dia mencontohkan lembaga amil zakat yang tersebar di bank-bank. Ada juga di setiap kementerian. Semuanya sudah menyalurkan zakat kepada mustahiq.
Mardani menilai UU tersebut seharusnya mempermudah Umat Islam membayar zakat, bukan justru mempersulit. “Kalau membayar zakat harus kepada petugas badan zakat jelas mempersulit,” paparnya.
Dia mengatakan hal itu tidak perlu, karena belum tentu nantinya, zakat disalurkan kepada mustahiq yang tinggal berdekatan dengan orang pemberi zakat. Dia menyarankan agar Undang-Undang ini lebih melestarikan lembaga zakat yang mandiri tanpa harus mengutak-atik status kelembagaan mereka.
Redaktur: Johar Arif
Reporter: Erdy Nasrul
Kamis, 27 Oktober 2011 15:47 WIB
REPUBLIKA.CO.ID
(nahimunkar.com)
http://ustadzaris.com/apakah-panitia-zakat-sama-dengan-amil
Syeikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin mengatakan, “Golongan ketiga yang
berhak mendapatkan zakat adalah amil zakat. Amil zakat adalah
orang-orang yang diangkat oleh penguasa untuk mengambil zakat dari
orang-orang yang berkewajiban untuk menunaikannya lalu menjaga dan
mendistribusikannya. Mereka diberi zakat sesuai dengan kadar kerja
mereka meski mereka sebenarnya adalah orang-orang yang kaya. Sedangkan
orang biasa yang menjadi wakil orang yang berzakat untuk
mendistribusikan zakatnya bukanlah termasuk amil zakat. Sehingga mereka
tidak berhak mendapatkan harta zakat sedikitpun disebabkan status mereka
sebagai wakil. Akan tetapi jika mereka dengan penuh kerelaan hati
mendistribusikan zakat kepada orang-orang yang berhak menerimanya dengan
penuh amanah dan kesungguhan maka mereka turut mendapatkan pahala….
Namun jika mereka meminta upah karena telah mendistribusikan zakat maka
orang yang berzakat berkewajiban memberinya upah dari hartanya yang lain
bukan dari zakat” (Majalis Syahri Ramadhan hal 163-164, cet Darul Hadits Kairo).
Kalo Agama harus tunduk kepada syahwat manusia, maka manusia bukan lagi disebut manusia tapi lebih pantas disebut BINATANG cuma binatang yg gak punya agama, sekarang aja sudah banyak manusia yg berkarakter binatang, betul.