Fathu Makkah Dan Jiwa Besar Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
Ilustrasi : Hidayatullah.com
Oleh : Dr. Slamet Muliono (Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya dan Direktur PUSKIP/Pusat Kajian Islam & Pendidikan)
Fathu Makkah merupakan babak sejarah dan momentum awal bagi tegaknya tauhid di bumi Arab. Tegaknya tauhid itu tidak lepas dari sosok yang telah berjuang menghadapi rintangan dan tantangan dakwah. Sosok agung terkenal dengan gelar “Al-Amin” semakin tinggi keagungannya ketika ikhlas memaafkan lawan dan musuh dakwahnya ketika Fathu Makkah. Keteguhan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam memegang panji tauhid telah melahirkan sejarah baru, dimana penduduk dari wilayah yang dikalahkan tidak dihukum mati, tetapi dimaafkan. Bahkan musuhnya dijamin keamanannya dan diberi keleluasaan untuk bebas.
Pengkhianatan Quraisy
Peristiwa Fathu Makkah dilatarbelakangi oleh adanya pengkhianatan yang dilakukan oleh Quraisy terhadap perjanjian Hudaibiyah. Quraisy memback up Bani Bakr yang melakukan penyerangan terhadap Bani Khuza’ah. Merujuk pada butir perjanjian Hadaibiyah yang menyatakan bahwa tidak boleh saling serang di antara kubu kaum muslimin dan Quraisy. Dalam perjanjian itu memberi ruang kepada kabilah dan suku untuk mengambil teman bersekutu, Bani Khuza’ah memilih bersekutu dengan kaum muslimin, dan Bani Bakr menjatuhkan pilihan dengan Quraisy.
Pengkhianatan itu terjadi ketika terjadi penyerangan Bani Bakar terhadap Bani Khuza’ah. Penyerangan ini dilakukan Bani Bakr di malam hari ketika Bani Khuza’ah tidak siap. Karena ketidaksiapan itu maka banyak korban di pihak Bani Khuza’ah. Bani Bakr bukan menghentikan peperangan, tetapi terus mengejar orang-orang Khuza’ah dan membunuhnya meskipun mereka sudah lari di tanah Haram. Bani Bakr tidak lagi mempedulikan larangan membnuh jiwa di tanah Haram. Tragisnya, Quraisy ikut andil dan membantu Bani Bakr dengan mempersenjatainya guna membunuh orang-orang Khuza’ah.
Atas tragedi kedzaliman itu, Bani Khuza’ah, yang diwakili oleh Budail bin Waraqah Al-Khuza’i dan Amr bin Salim Al-Khuza’i, datang mengadu kepada nabi. Mereka mengadukan kebiadaban Bani Bakr dan kejahatan Quraisy yang membantu pembantaian terhadap orang-orang Khuza’ah. Atas pengaduan itu, Nabi langsung mempersiapkan diri untuk berperang guna membela sekutunya (Bani Khuza’ah) dan siap berangkat ke Makkah. Nabi merahasiakan waktu penyerangan dan menutup cela bagi tersebarnya berita keberangkatannya.
Pada saat itu Abu Sufyan, yang sudah yakin akan diserang kaum muslimin, mencoba untuk meredam dan mendatangi nabi. Dia berangkat ke Madinah untuk menemui Nabi, namun tidak membuahkan hasil. Berturut-turut Abu Sufyan mendatangi orang-orang yang dianggap bisa meredam dan mengurungkan niat Nabi dalam membalas pelanggaran perjanjian itu. Abu Sufyan menemui anak perempuannya, Ummu Habibah (sekaligus istri nabi), Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khaththab, dan Ali Bin Abi Thalib. Hal itu semata-mata agar mereka bisa menyampaikan pesan damai kepada Nabi. Abu Sufyan berharap mereka mau membujuk nabi dan mengurungkan niat atas tragedi penyerangan Bani Bakr terhadap Bani Khuza’ah. Namun upaya Abu Sufyan itu gagal, hingga terjadilah peristiwa terbukanya kota Makkah itu, sehingga Makkah takluk di tangan kaum muslimin.
Keagungan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallah
Dalam peristiwa Fathu Makkah itu tercatat betapa besar dan tinggi keagungan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallan, khususnya ketika masuknya beliau masuk ke kota Makkah, guna melakukan eksekusi terhadap musuh-musuhnya. Eksekusi itu tanpa melalui pertumpahan darah. Hal ini berbeda sebagaimana umumnya, dimana ketika terjadi penaklukan sebuah negara, diiringi dengan pembunuhan dan dendam massal terhadap lawan.
Setidaknya ada beberapa peristiwa yang menunjukkan keagungan dan jiwa besar Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, khususnya dalam memaafkan kesalahan orang lain. Pertama, memaafkan sahabat Hatib bin Abi Balta’ah. Pada saat nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam merahasiakan penyerangan terhadap Quraisy, Hatib menulis surat secara rahasia dan dibawa oleh seorang perempuan. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memperoleh wahyu adanya surat itu, sehingga beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam langsung menugaskan Ali bin Abi Thalib dan Zubair bin Awwam untuk mengambil surat itu. Setelah surat itu berhasil diperoleh dan disampaikan pada nabi, maka Hatib dipanggil untuk dimintai alasan tentang surat rahasia itu. Hatib beralasan keluarganya tidak memiliki orang yang menjamin keamanannya ketika penyerangan berlangsung. Karena alasan itu, maka Hatib yang turut serta dalam perang Badar, dimaafkan,
Kedua, memaafkan Abu Sufyan bin Harb. Ketika pasukan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berangkat ke Makkah, Abbas bin Abdul Muththalib mendatangi Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam untuk menyatakan keislamannya. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sangat bergembira atas kedatangan dan masuk Islamnya paman yang gigih dalam membela Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ini. Abbas telah teruji pembelaan dan perlindungannya yang total terhadap Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Hal itu ditunjukkan ketika peristiwa bai’atul Aqobah pertama dimana tokoh Yatsrib yang mendatangi Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan siap membela bila datang ke wilayahhya. Pada malam itu Abbas mendatangi orang-orang Yatsrib dan meminta jaminan yang kuat, karena Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam kondisi aman di Makkah.
Setelah Abbas menyatakan keislamannya pada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, maka Abbas langsung kembali ke Madinah. Dalam perjalanan pulang, Abbas bertemu Abu Sufyan. Abbas menyarankan Abu Sufyan untuk segera masuk Islam karena Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam akan datang dengan pasukannya yang sangat besar dan kuat. Namun Abu Sufyan masih ragu tetapi atas sugesti Abbas, maka Abu Sufyan mau menerima Islam sebagai agamanya. Bukan hanya memaafkan Abu Sufyan, Nabi justru memberi penghormatan kepada Abu Sufyan dalam bentuk pemberian wewenang yang memerintahkan penduduk untuk memasuki rumahnya, masjidil Haram atau menutup pintu rumahnya bila ingin memperoleh rasa aman.
Ketiga, memaafkan dan membebaskan penduduk Quraisy. Sebagaimana hukum perang, pihak yang kalah akan memperoleh hukuman, baik dipenjara atau dibunuh. Namun Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam justru membebaskan seluruh penduduk Makkah yang selama ini memusuhi dakwahnya. Sebelum menghukumi mereka, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bertanya : “Hukuman apa yang pantas yang aku lakukan pada kalian ?” Mereka menjawab “Kamu adalah orang yang mulia, dari keturunan saudara yang mulia.” Spontan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengucapkan perkataan bersejarah “Kalian semua boleh pergi dan bebas”
Ungkapan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ini sangat langka, dimana para pemimpin yang menaklukkan negeri biasanya akan membunuh semua lawan yang telah ditaklukkannya. Bahkan orang yang pernah memusuhi akan diprioritas untuk dieksekusi. Namun kali ini Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam justru membiarkan dan membebaskan mereka. Dengan keputusan bebas itu, maka banyak penduduk Makkah yang justru berbondong-bondong masuk ke dalam agama Islam. Itulah peristiwa langka dan menunjukkan keagungan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sebagai pemimpin besar.
Surabaya, 27 September 2018
(nahimunkar.org)
10 Orang yang Darahnya Dihalalkan Rasulullah
10 Orang yang Darahnya Dihalalkan Rasulullah
ILUSTRASI
SAAT itu, 10 Ramadhan 8 Hijriah, Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam beserta 10 ribu sahabat bergerak dari Madinah menuju Makkah. Peristiwa itu dikenal sebagai fathu Makkah (penaklukan kota Makkah).
Rasulullah beserta pasukannya memasuki kota Makkah dengan penuh kesopanan. Rasulullah memerintahkan pasukannya untuk tidak menyerang sebelum diserang. Melihat kekuatan pasukan Muslimin yang banyak, tidak sedikit para gembong kafir Quraisy yang melarikan diri keluar Makkah.
Pada peristiwa itu, juga Rasulullah menjatuhkan hukuman mati untuk 10 orang dari penduduk Makkah dan memerintahkan kepada pasukannya agar membunuh mereka. Namun, Rasulullah tetap membuka pintu maaf bagi mereka. Nama-nama sepuluh orang yang dijatuhi hukuman mati oleh Rasululllah itu adalah:
1. Ikrimah bin Abu Jahal
Ikrimah adalah anak Abu Jahal. Ia giat sekali dalam menghadang dakwah Islam di Makkah. Saat penaklukan kota Makkah dan mendengar dirinya masuk dalam daftar orang yang divonis mati, Ikrimah lari ke Yaman. Ia sempat mengajak istrinya, Ummu Hakim binti Haris, melarikan diri. Tapi, istrinya menolak.
Setelah Ikrimah pergi, istrinya menemui Rasulullah di perkemahan pasukan Muslimin. Ia menceritakan ketakutan suaminya dan meminta amnesti (pengampunan) kepada Rasulullah. Rasul pun memaafkannya. Istrinya menyusul Ikrimah ke Yaman. Sekembalinya dari Yaman, mereka bersyahadat di hadapan Rasul.
2. Abdullah bin Khaththal
Mulanya ia bernama Abdul ’Uzza. Tapi, setelah memeluk Islam, Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam mengganti namanya dengan Abdullah. Ia sering diminta Rasulullah untuk memungut zakat. Ia murtad (keluar dari Islam) setelah Rasulullah mengutusnya sebagai petugas zakat ke salah satu daerah. bersama salah seorang sahabat Anshar yang juga mantan budaknya yang Muslim.
Di dalam perjalanan tugas itu, ia berhenti di suatu tempat, kemudian menyuruh mantan budaknya menyembelih kambing hutan miliknya dan memasak untuknya. Setelah itu, Abdullah bin Khaththal tertidur. Ketika ia bangun, ia melihat mantan budaknya tidak menjalankan perintahnya, kemudian ia menyerangnya hingga tewas.
Setelah itu, ia kembali murtad. Saat peristiwa fathu Makkah, Abdullah bersembunyi di balik kain Ka’bah. Sa’id bin Harits Al-Makhzumi dan Abu Barzah Al-Aslami memergokinya dan mengabarkan kepada Rasulullah. “Bunuhlah dia!” perintah Rasul. Maka kedua sahabat Rasul itu membunuh Abdullah.
3. Wahsyi bin Harb
Wahsyi seorang budak dari Hindun binti Utbah. Saat berkecambuk perang Uhud, Hindun memerintahkan Wahsyi membunuh Hamzah, paman Rasulullah. Bila misinya sukses, Wahsyi dijanjikan akan dimerdekakan.
Wahsyi berhasil membunuh Hamzah dengan tombaknya. Atas perbuatannya itu, saat fathu Makkah, Wahsyi masuk daftar orang yang akan dibunuh. Mendengar itu, Wahsyi melarikan diri ke Thaif. Tapi, ia kembali ke Makkah setelah mendengar kabar bahwa Rasulullah mengampuninya. Melihat kemuliaan Islam dan akhlak Rasul, akhirnya Wahsyi memeluk Islam.
4. Miqyas bin Shubabah
Miqyas mengaku sebagai Muslim. Ia datang menemui Rasulullah di Madinah. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, aku datang kepadamu dalam keadaan Muslim dan bermaksud meminta diyat saudaraku. Ia dibunuh karena salah sasaran.” Rasulullah memerintahkan sahabat membayar diyat kepada Miqyas.
Miqyas sempat tinggal di Madinah beberapa lama, kemudian ia membunuh pembunuh saudaranya. Ia kembali ke Makkah dalam keadaan murtad dan bergabung bersama orang-orang musyrik. Berkat perbuatannya itu, Miqyas divonis hukuman mati oleh Rasulullah. Ia dibunuh oleh Numailah bin Abdullah, seorang sahabat Rasul yang juga sepupunya.
5. Habbar bin Al-Aswad
Nama lengkapnya Habbar bin Al-Aswad bin Muthalib. Ia pernah menghadang Zainab binti Muhammad saat hendak hijrah ke Madinah. Ia menarik sekedup yang ditunggangi Zainab hingga putri Rasulullah itu jatuh ke tanah. Akibat perbuatannya itu, Zainab keguguran.
Saat fathu Makkah, Habbar melarikan diri meninggalkan Makkah. Ia kemudian menghadap Rasulullah untuk meminta amnesti. Rasulullah mengabulkannya, semua kesalahannya dimaafkan dan akhirnya ia menjadi seorang Muslim yang giat membela agamanya.
6. Ka’ab bin Zuhair
Ka’ab bin Zuhair bin Abi Sulma Al-Muzanni merupakan salah seorang pujangga kenamaan. Ia seringkali menghina dan menyakiti Rasulullah dengan syair-syairnya. Rasulullah menjatuhi hukuman mati kepada Ka’ab. Ia sempat disurati sahabatnya, Bujair. Isinya, memberitahukan hukuman mati yang akan diterimanya jika ia tidak segera memeluk Islam.
Akhirnya ia menghadap Rasulullah dan menyatakan ke-islamannya. Sejak itu, syair-syair yang dibuatnya berisi pujian terhadap Rasulullah.
7. Abdullah bin Sa’ad bin Abu Sarh
Abdullah adalah saudara sesusuan ‘Utsman bin Affan. Rasulullah menjatuhkan vonis mati kepadanya, karena tadinya ia memeluk Islam. Bahkan sempat ikut hijrah bersama Rasulullah ke Madinah.
Abdullah meminta perlindungan kepada ’Utsman. ’Utsman lalu membawanya kepada Rasulullah dan meminta jaminan keselamatan untuk Abdullah. Rasulullah diam cukup lama dan tidak menanggapi permintaan ’Utsman tersebut. Sikap diam itu dilakukan dengan harapan para sahabat segera menghampiri Abdullah dan memenggal kepalanya. Salah seorang sahabat Anshar berkata, “Kenapa engkau tidak memberi isyarat kepadaku, wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Nabi itu tidak boleh membunuh dengan memberi isyarat.”
Akhirnya Rasulullah memaafkan Abdullah dengan jaminan ’Utsman. Sesudah itu ia kembali memeluk Islam.
8. Shafwan bin Umayyah
Shafwan anak dari Ummayah bin Khalaf, majikan Bilal bin Rabbah. Shafwan pernah membunuh Zaid bin Dasinah, sahabat Rasul, di tiang gantung.
Saat peristiwa fathu Makkah, Shafwan melarikan diri meninggalkan Makkah menuju Yaman. Umair bin Wahb Al-Jumahy meminta amnesti untuk Shafwan kepada Rasulullah. Rasulullah pun memberinya.
Setelah mengantongi amnesti dari Rasulullah, Umair langsung menemui Shafwan yang saat itu tengah siap-siap menuju Yaman. Shafwan tidak menuruti ajakan Umair untuk memeluk Islam dan menemui Rasulullah. Ia meminta waktu dua bulan untuk mengambil keputusan. Selang beberapa bulan, Shafwan memutuskan bergabung bersama Islam. Istrinya lebih dahulu masuk Islam.
9. Hindun binti Utbah
Hindun istri dari Abu Sufyan bin Harb, pemuka Quraisy. Ia wanita kejam dan bengis. Ia pernah memakan jantung dan hati Hamzah bin Abdul Muththalib, paman Rasulullah, saat perang Uhud.
Saat pasukan Islam memasuki kota Makkah, Hindun dan suaminya ketar-ketir. Apalagi saat mendengar dirinya masuk dalam daftar sepuluh orang yang akan dibunuh. Tapi, perasaan takut itu hilang saat Rasulullah memaafkan kesepuluh terpidana mati itu. Hindun bersama perempuan Quraisy lainnya memberanikan diri menemui Rasulullah dan menyatakan bergabung bersama Islam.
10. Huwairits bin Nuqaiz
Ia termasuk yang memusuhi Islam. Juga sering menyakiti hati Rasulullah dengan ejekannya. Ia lakukan itu semenjak Rasulullah masih di Makkah.
Dalam riwayat, Huwairits pernah menganggu unta yang dikendarai Abbas dan kedua putri Rasul, Fatimah dan Ummi Kalsum. Akibatnya kedua putri Rasul itu terjerambab jatuh ke tanah. Saat fathu Makkah ia masuk daftar hitam oleh Rasulullah. Huwairits berhasil ditangkap dan dibunuh oleh Ali bin Abi Thalib.*
Rep: Ibnu Syafaat
Editor: Cholis Akbar