Menyoal RUU Kesetaraan Gender
- Wahyu dipaksa tunduk pada konsep dan metodologi yang dikembangkan kaum feminis liberal sehingga konsep kesetaraan gender yang bertentangan dengan ajaran Islam malah diajukan sebagai RUU untuk mengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara di sebuah negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
Inilah ulasannya.
***
Akar Masalah Konsep RUU Kesetaraan Gender
Written by DInar Kania
Dalam Naskah Akademik tentang Kesetaraan Gender (NA RUU KKG) disebutkan bahwa Rancangan Undang Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG) perlu disusun karena adanya ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat Indonesia dalam memperoleh manfaat yang sama dan adil dari hasil-hasil pembangunan antara laki-laki dan perempuan. Ketimpagan itu, katanya, disebabkan kuatnya budaya patriarki sehingga terjadi subordinasi, ketidakberdayaan perempuan dan anak dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Sekilas tampak RUU KKG ini menawarkan jalan keluar bagi permasalahan yang dihadapi kaum perempuan Indonesia dan dapat melindungi mereka dari tindak kekerasan, deskriminasi serta hal-hal lainnya yang dapat menghilangkan hak-hak kaum perempuan. Namun apabila kita mau mengkaji lebih dalam, banyak hal yang perlu dikritisi dari RUU KKG tersebut. Salah satunya adalah konsep “Kesetaraan Gender” yang dijadikan alat analisis atau metodologi dalam perumusan norma-norma hukum RUU tersebut.
Dilihat dari latar belakang historis, konsep kesetaraan gender lahir dari pemberontakan perempuan Barat akibat penindasan yang dialami mereka selama berabad-abad lamanya. Sejak zaman Yunani, Romawi, dan Abad Pertengahan (the Middle Ages) , dan bahkan pada Abad Pencerahan sekali pun, Barat menganggap wanita sebagai makhluk inferior, manusia yang cacat, dan sumber dari segala kejahatan atau dosa. Itu kemudian memunculkan gerakan perempuan Barat yang menuntut hak dan kesetaraan perempuan dalam bidang ekonomi dan politik yang pada akhirnya dikenal dengan sebutan feminis.
Kelahiran feminisme dibagi menjadi tiga gelombang. Feminisme gelombang pertama dimulai dari publikasi Mary Wollstonecraft berjudul Vindication of the Rights of Women pada tahun 1972, yang menganggap kerusakan psikologis dan ekonomi yang dialami perempuan disebabkan oleh ketergantungan ekonomi pada laki-laki dan peminggiran perempuan dari ruang publik (Rowbotham : 1992).
Setelah itu muncul feminisme gelombang kedua dengan doktrinnya yang memandang perbedaan gender sengaja diciptakan untuk memperkuat penindasan terhadap perempuan. Pada gelombang kedua inilah dimulai gugatan perempuan terhadap institusi pernikahan, keibuan (motherhood), hubungan lawan jenis (heterosexual relationship) dan secara radikal mereka berusaha mengubah setiap aspek dari kehidupan pribadi dan politik. Terakhir adalah feminisme gelombang ketiga yang lebih menekankan kepada keragaman (diversity), sebagai contoh ketertindasan kaum perempuan heteroseksual yang dianggap berbeda dengan ketertindasan yang dialami kaum lesbi dan sebagainya. (Arivia, 2002).
Jika pada awal kemunculannya kaum feminis mengusung isu “hak” dan “kesetaraan”, namun feminisme akhir 1960 an, menggunakan istilah “penindasan” dan “kebebasan”. Konsep gender sendiri mulai digunakan oleh feminis Barat pada tahun 1970 yang menyatakan bahwa kedudukan perempuan di tiap budaya masyarakat adalah berbeda-beda dan tidak sama. Lalu wacana gender ini kemudian diperkenalkan oleh sekelompok feminis di London awal tahun 1977 dan sejak itulah konsep gender equality (kesetaraan gender) menjadi mainstream gerakan mereka. Konsep gender berbeda dengan sex. Gender dipengaruhi oleh kondisi sosial, agama dan hukum yang berlaku di masyarakat serta faktor-faktor lainnya, sedangkan sex merujuk pada anatomi biologis seorang manusia. (Rowbothan : 1992).
Dari latar belakang historis munculnya konsep kesetaraan gender, kita dapat menilai bahwa konsep ini secara substansial sangat bertentangan dengan nilai-nilai dan ajaran agama Islam. Alasannya, pertama; feminisme dibesarkan dan tumbuh subur bersamaan dengan liberalism dan sekularisme yang telah mencabut nilai-nilai spiritual dalam peradaban Barat. Sebagaimana kaum feminis Barat, kelompok yang menamakan diri “feminis muslim” juga menuding bahwa salah satu faktor yang paling
mengemuka dalam timbulnya ketidakadilan gender adalah interpretasi ajaran agama yang sangat didominasi bias gender dan bias nilai-nilai patriakal.
Mereka menganggap perlu dilakukan pembacaan ulang dan dekonstruksi atas penafsiran lama yang dinilai memiliki kecenderungan memanipulasi dan memanfaatkan ajaran Islam untuk melegitimasi kekuasaan patriarki. Oleh karena itu, sebagaimana agama Kristen yang tersapu oleh gelombang liberalisme di Barat. Itulah fakta.
Kedua, definisi gender sendiri masih mengundang kontroversi. Lips dalam A New Psychology of Women (2003) menjelaskan bahwa gender bukan hanya feminin dan maskulin sebagaimana yang diketahui masyarakat luas, tapi ada gender ketiga yang bersifat cair dan berubah-rubah dan telah dikenal oleh masyarakat pada berbagai macam budaya yang berbeda, yaitu kaum homoseksual dan tranvestite (seseorang yang senang menggunakan pakaian gender lainnya).
Dengan demikian, konsep kesetaraan gender sangat berpotensi menyuburkan praktek homoseksual sebagaimana yang terjadi dalam masyarakat Barat. Perkawinan lesbi dianggap sebagai antitesis dari
patriarki yang menyerang dokrin dasarnya. Pasangan lesbian diklaim lebih mengalami perasaan bebas dari ikatan dan hambatan-hambatan peran gender sehingga mampu menciptakan hubungan baru dan mengurangi kekuatan yang tidak berimbang yang kadang ditemukan dalam hubungan tradisional heteroseksual. (Chrisler, 2000).
Ketiga, konsep kesetaraan gender akan menghancurkan tatanan keluarga karena para feminis berusaha menggugat institusi pernikahan, keibuan (motherhood), hubungan lawan jenis (heterosexual relationship) dan melakukan perubahan radikal dalam berbagai aspek kehidupan, baik
ditingkat individu maupun bernegara.
Pandangan alam Islam (the Worldview of Islam) memandang institusi keluarga sebagai arena jihad untuk mencapai ridha Allah SWT, sehingga peran laki-laki dan perempuan dalam keluarga diatur sedemikian rupa, sesuai dengan fitrahnya masing-masing. Faktor keikhlasan dan ketundukan pada syariat memang menjadi landasan utama dalam membangun sebuah keluarga yang Islami. Hal tersebut sudah tentu tidak sejalan dengan ideologi feminis yang mengukur keadilan dan kesetaraan bagi perempuan hanya dari faktor ekonomi dan kemanusiaan (HAM) semata, tanpa mengaitkan dan menghubungannya dengan nilai-nilai agama.
Kita, kaum Muslim, tidak sedang menolak semua konsep yang datang dari luar Islam. Namun jika hendak digunakan, konsep-konsep tersebut haruslah terlebih dahulu melalui proses Islamisasi agar sesuai dengan pandangan alam Islam yang bersumber dari wahyu Allah. Namun sepertinya yang terjadi saat ini justru kebalikannya. Wahyu dipaksa tunduk pada konsep dan metodologi yang dikembangkan kaum feminis liberal sehingga konsep kesetaraan gender yang bertentangan dengan ajaran Islam malah diajukan sebagai RUU untuk mengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara di sebuah negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
Ini ironis. (***) insistent.com, Thursday, 22 March 2012 10:27
(nahimunkar.com)